Selasa, 21 Desember 2010

"C i n t a  Adalah "



Cinta
Adalah
Pantai
Dan aku adalah kekasihnya ;
Kala pasang tubuh kami berdekapan
- dadanya yang lapang meredakan kecemasan dalam diriku
Saat surut menjelang aku tersungkur di kakinya

Cinta
Adalah
Bayangan yang kita lihat sementara mata tertutup
Dan nyanyian yang kita dengar sementara telinga tersumbat

Cinta
Adalah
Cahaya gaib yang terpancar dari isi jiwa yang membakar
Dan menyinari dunia

Cinta
Adalah
Satu-satunya bunga yang tumbuh tanpa bantuan musim
Satu-satunya kebebasan di dunia karena ia dapat mengangkat jiwa begitu
tinggi
Satu-satunya keadaan dimana tak ada yang dapat merintangi dan mengubah
arahnya

Cinta
Adalah
Aku ;
Santapan hati

Cinta
Adalah
Aku ;
Sekuntum mawar merah berduri yang mekar saat fajar

Cinta
Adalah
Aku ;
Seekor jinak merpati putih yang berharap ditangkap tapi menolak disakiti

Cinta
Adalah
Aku ;
Yang selalu ingin bersembunyi dalam jubah perasaanku
Yang telah mengganti kesedihan menjadi kegembiraan
Yang telah menghapus ke putus asaan menjadi harapan
Yang telah mengubah kesendirian menjadi surga


012010

Senin, 26 April 2010


" bawa aku "



bawa aku
mengarungi samudera c i n t a mu
terkurung gelombang perasaanmu

yang tak perlu ku mengerti

aku ingin singgah disana

menepis sepiku
dengan hangat c i n t a mu

menghalau ragaku
dengan sejuknya hatimu


230110

" ukuran C i n t a "

c i n t a


tak dapat diukur
pada seberapa lama c i n t a itu ada

namun seberapa besar kau menghabiskan harimu
bersama orang yang kau c i n t a i

keindahan c i n t a

bukanlah mulut yang dahaga
atau tangan yang terikat

tetapi
hati yang menyala dan jiwa yang menyihir


230110
" duduklah dan senyumlah "




duduklah dan senyumlah di dekatku



c i n t a ku

dengarkan hatiku ;


senyumlah

karena kebahagiaanmu

adalah

simbol masa depan kita


bergembiralah

karena hari yang bersinar

membuat kita bahagia


duduklah disampingku


kemarilah

c i n t a ku


mendekatlah kekasih belahan jiwaku


duduklah disampingku

biarkan aku obati rasa rindumu

sejuta rindu


yang ingin kau sampaikan

sejak dulu



 220110

" ke - 1 - an "




biarkan muncul kesatuan diantara kita

sehingga

manakala yang satu menangis

yang lain merasakan kepedihannya

jika kamu ragu

aku akan menggenggam tanganmu

disaat kamu ingin menyerah karena lelah

aku akan berusaha membantumu untuk bertahan


220110
" menjaga rahasia "


aku ingin
sekali lagiterbenam dalam dekapanmumencatat semua masa dan kenangan yang hidupdalam detak jantungmu
hatiku

jagalah catatanku ini
sembunyikanlah rahasia c i n t a ku inidari mereka yang ingin tauuuuuuu aja




 210110
 manusia biasa  "   



aku tenang

diam bagai ikan

tapi

sesungguhnya

aku gelisah
bagai ombak dalam lautan




aku ingin

terbang
- menghilangbersama c i n t a ku

tapi

aku manusia biasa

rindu rasa - rindu rupa



190110
" tanpamu  " 



langit


tak pernah berarti tanpa awan

laut

tak ada maknanya tanpa gelombang

seperti itukah aku

tanpa dirimu ?



170110
" bukan gerimis    



ijinkan aku menjadi hujan selamanya


karenaaku bukan gerimis yang terputus



170110

Selasa, 30 Maret 2010

" lagu c i n t a "




l a g u c i n t a 


diciptakan dengan
perenungan
diutarakan dengan
kesunyian
diulang oleh
mimpi
dan
dinyanyikan oleh
jiwa


@s'where 2
120110

" impian c i n t a "




i m p i a n dan c i n t a
 


akan saling memberi
antara

satu dengan yang lain

serupa dengan apa

yang di lakukan m a t a h a r i

ketika
mendekati malam
dan

apa yang dilakukan b u l a n

ketika

mendekati siang


@s'where 2
120110

" batasan c i n t a "




perlukah
langit dan bumi
digarisi
perlukah
malam dan pagi
dipisahkan
bisakah
c i n t a

melenyapkan segala



@s'where 2
120110

Jumat, 19 Maret 2010

" n.o.t.h.i.n.g "



sudah


kualami

p e r i h

karena

k e h i l a n g a n



sudah

kureguk

k e c e w a

karena

d i t i n g g a l k a n



semuanya belum seberapa


hanya satu derita yang paling menyiksa ;


mencintai tapi tak boleh memiliki

mengasihi tapi hanya dalam hati

menyayangi tapi harus menjauhi




@s'where
090110

" doubt "



jiwaku


memperingatkanku

ada

keraguan

dalam

hatimu

padahal

keraguan

dalam

c i n t a

adalah

d.o.s.a.



090110

" u won understand "




memilikimu


begitu besar artinya bagiku

memberi kebahagiaan

dalam

hari-hariku yang lalu


mengasihi dan menyayangimu

'tlah ku lakukan

dengan

sepenuh hati


ku berikan segala yang ku miliki

(tapi kau tak mau memahami)





090110

Minggu, 07 Maret 2010

" c i n t a tak memilih waktu "



ketika


c i n t a

tak memilih waktu

c i n t a pun
menjadi t a b u

ketika
c i n t a

adalah
sebuah keindahan
kita tak boleh menyerah
karenamenyerah pada keindahan
adalahtak manusiawi

ketika
c i n t a
telah
menjadi kejahatan
kita harus lari atau sembunyi


agar
tak dicaci atau di jeruji


@s'where '2
110110

" se o r a n g "



tak perlu :

kusadari

tak perlu :

kupahami

t a p i
begitu

sangat berarti

k u :

mengerti
yang kucari

k u :

mengerti
yang kunanti

s a t u :

s e o r a n g



*080110


" e n t a h lah "



aku ingiiiiiin.......

aku mauuuuuuuu



hanya harapan

hilir mudik

menyekap lidah

tak berhasil

sampai tujuan


l a l u

tiba tiba saja

aku merasa takut

takkuuuuuu...ttt........

takut di tinggalkan

takkuuuuuu...ttt.........

takut kehilangan


e n t a h lah



*070110

Kamis, 04 Maret 2010


"  hak jatuh c i n t a  "



setiap orang


berhak

j a t u h c i n t a


seberapa dalamnya

seberapa tingginya


betapa hinanya

betapa nistanya


seberapapun nilainya

seberapapun harganya



*030110

Rabu, 03 Maret 2010


"   c i n t a  di pertanyakan "



aku mencintaimu

tetapi 

aku tak bisa kurang dari ini


siapa yang salah

salahkan saja perasaan

mengapa menjajah hati kita


tak perlu alasan

tak perlu logika

c i n t a bukan ratio

c i n t a menjelaskan dengan perasaan


perlukah 

c i n t a dipertanyakan

tak bisakah

hanya diam 

dan merasakan



*020110


"  hanya  c i n t a  mu yang mampu "



aku

adalah

pualam 

yang retak



luka

dan 

kecewa

menggores bekas


rekatkan akuuuuuuuu


hingga

utuh

seperti

dulu

hanya

c i n t a mu


yang mampu



*010110



"  cuma  c i n t a  yang sanggup  "



ada nyeri dan sesal

tak tertebus

tapi

cuma cinta yang sanggup

menyaksikan kekhilafan


karena

cinta bicara dengan sejuta makna

meski

tanpa kata-kata



*030110


Sabtu, 20 Februari 2010

" arti hadirmu "




kekasihku...

tahukah kamu ?

jika kini
di hadapanku

terbentang sebuah kehidupan -

yang mampu aku hias

menjadi sesuatu yang lebih besar,
lebih indah ,
dan penuh warna -

kehidupan yang telah terbangun -

sejak pertama kali kita bersua

dan akan terus selalu ada hingga akhir masa.


dan ketika aku memikirkan dirimu...

hidup ini terasa lebih baik -

ada kehidupan baru bagiku :

ruang baru bagi duniaku ,
udara baru bagi nafasku .

semua
karena :

hadirmu .




" arti  c i n t a "


cinta adalah 

sesuatu yang menyala


cinta adalah

sebuah desahan dari dasar laut birahi

dan dari lautan kasih sayang yang dalam -

seulas senyum dari dataran jiwa yang membentang

dan tawa dari ladang yang beraneka warna -


cinta adalah

setetes air mata dari semesta yang tak berakhir -

awan putih yang datang dari cakrawala

naik dan tumbuh sampai memenuhi wajah langit


cinta adalah 

pengungkapan tiba-tiba

cinta terlahir dari kesempatan

cinta menyisakan samar

cinta mendikte


jika cinta demikian sederhana

mengapa menjauh dari cinta begitu menyakitkan


cinta memiliki kekuatan

kekuatan cinta :

membangkitkan raga

membuat jantung berdetak berirama

menjadikan hati tetap muda

menghapus usia

menjauhkan kematian

membuat alam tunduk membisu

mengubah kabut menjadi sinar mentari


cinta juga memiliki kejahatan

kejahatan cinta :

membunuh secara perlahan 

dan menyakitkan 

bagi orang yang menggenggamnya




Kamis, 18 Februari 2010


" saat tanganmu menyentuh... "



pandangan pertama dari mata sang kekasih

bagaikan sebuah benih yang ditaburkan dalam hati manusia

seperti sang jiwa yang di gerakkan diatas permukaan air

menyatukan panca indra yang saling diam dengan kesendiriannya -


genggaman tangan belahan jiwa sang kekasih

menyapa segala penghuni semesta

saat tanganmu menyentuh kulitku

kita berdua telah menyentuh jiwa keabadian -


mendekatlah sang kekasih

jangan biarkan hujan dan musim dingin

memaksa masuk diantara kita -


duduklah di sampingku

sehingga aku dapat membaca cinta yang tertulis di wajahmu

tiada kejutan yang mampu menghasilkan efek yang begitu magis

sebagaimana perasaanku bila kau cintai.





" apa pula makna mencinta "



pada saat mentari mulai terbenam -

awan mulai berarak pulang -

akupun mulai merenung :

" apa pula makna mencinta ? "

padahal seseorang diluar sana -

berharap dapat meraih sebelah tanganku ini -

berharap dapat memeluk penuh kasih diriku ini -


kala senja tiba -

hatiku menolak untuk menyembunyikan rahasia darimu -

karena semua yang akan kulakukan hanyalah untukmu.


ku biarkan kau tembangkan lagu harapan untukku -

berikut senyuman halus menyinari wajahmu -

ku biarkan kau bacakan rahasia cinta untukku -

aku mendengarkanmu -

dan merasakan lembutnya sentuhan kepakan sayapmu :
kaulah kekasih yang mencintai hatiku.


lalu ku biarkan saja angin sepoi-sepoi segar berhembus menujumu -

mengirim gejolak dan cinta hatiku.





 a k u dan  c i n t a mu “



bawa a k u

mengarungi samudera kasihmu -

biarkan terkurung gelombang hatimu

yang tak perlu ku mengerti


a k u ingin

singgah disana

menepis sepiku -

menghalau rinduku

dengan hangat c i n t a mu


setetes demi setetes ...

seperti gerimis yang membasahi tanah sekarat -

seperti embun yang membebaskan rumput dahaga -

seperti harapanku akan c i n t a mu padaku -


yang mengalir ...

di setiap sel tubuhku -

menjadi nafas dan denyut nadi -

membuat  m a t i  jika tak kau  c i n t a i


Sabtu, 13 Februari 2010



" jika kau mencintaiku... "



jika kau mencintaiku...

kuharap bukan demi apapun -

melainkan demi cinta itu sendiri.

jangan pernah bilang :

" aku mencintaimu karena kamu funny and smart "
atau
" aku mencintaimu karena kamu pengertian dan nggak mata duitan "
atau
" aku mencintaimu karena sorot matamu, kakimu, dan aroma tubuhmu "

karena :

semua itu bisa berubah -

dan cintamu akan goyah.

jangan pernah mencintaiku :

lantaran -

kau usap gerimis di rambutku.

aku takut...

kau tak 'kan mencintaiku lagi -

jika tak ada lagi airmata di pipiku.

jadi...

cintailah aku

demi cinta itu sendiri.

agar –

cintamu bahagia di keabadian...





Senin, 08 Februari 2010

" Kisahku Kasih Ibuku "



“Ibu bisa membuat dunia bagaikan tempat yang aman ketika ia mencium anda sebelum tidur” - Phyllis Hobe

Hhhmmm......seingatku ibu tak pernah lakukan hal itu padaku sepanjang hidupku selama lima belas tahun. Aku tak berkecil hati karenanya, karena ibuku selalu memberikan rasa aman dimana saja aku berada meski tanpa ciuman sebelum tidur. Karena aku tahu pasti ibuku teramat sayang dan mengasihi aku. Ibu punya hati yang teramat lembut, hati yang amat besar dan luas. Ibuku memang bukan tipe romantis - meskipun beliau pernah mengaku sebagai seorang wanita yang romantis terhadap pasangan hidupnya - juga tak suka mengumbar kata-kata sayang didepan umum - meskipun beliau selalu memanggilku ‘Yang’ singkatan dari kata sayang, baik dalam suka, sedih, maupun marah – Ibu hampir tak pernah memeluk anaknya sebagaimana ibu-ibu lain selalu melakukannya untuk hal-hal istimewa atau biasa – beliau baru melakukannya ketika aku memintanya ditengah tangis kesedihanku atau diantara canda dan rasa ingin dimanja -
Sekilas wajah ibu tak ramah bahkan terkesan garang. Tak jarang teman-temanku bertanya apakah ibuku galak? Aku selalu menggeleng dengan penuh kepastian. Wajah ibu memang banyak berubah dibanding ketika beliau masih muda apalagi remaja dulu – tentu, aku selalu perhatikan foto-foto masa lalunya – Ya, karena perjalanan hidup ibu setelah menikah sarat duka dan airmata. Aku yakin inilah sebabnya garis-garis lembut diwajah ibu hilang, sikap romantis yang pernah jadi trade mark nya pun lenyap sudah.

******

“ Ibu adalah cinta kasih yang bergerak, berlomba dengan surya berebut kehidupan “

Bagiku ibu adalah seorang pejuang sejati. Perjuangan dalam hidupnya tak pernah usai. Begitu juga ketika beliau berjuang mati-matian melawan maut sewaktu melahirkan aku bahkan jauh sebelum aku dilahirkan…
Ketika usia kehamilan keduanya baru dimulai, dokter menyarankan agar ibu tak melanjutkannya alias digugurkan saja kandungannya mengingat kondisi fisik ibu saat itu lemah. Entah apa alasannya ibu melanjutkan kehamilannya. Tanpa ngidam, tanpa keluhan lainnya. Seolah ibu dan bayi dalam kandungannya baik-baik saja.

Sampai suatu hari ibu terlibat pertengkaran hebat dengan ayah biologisku-aku menyebutnya demikian karena aku tak pernah mendapatkan figur, cinta, kasih sayang dan uang darinya-. Akibat pertengkaran itu ibu jadi tahu bahwa sang ayah biologis itu berharap anak yang ada dalam kandungan ibu, laki-laki.
Aku terlahir premature, dengan berat hanya dua kilogram lewat operasi caesar disebuah rumah sakit terkenal di Bogor, berhutang pula. Ibu disalahkannya karena telah memilih rumah sakit bukan rumah bidan. Seperti layaknya membeli barang kreditan, ibu mencicil biaya persalinannya selama setahun! Padahal, kalau tahu bagaimana keadaan ibu pada waktu sebelum dibawa ke rumah sakit… Mana sempat memikirkan mau masuk ke rumah sakit mana atau mau pilih kamar kelas berapa…
Nyawa ibuku saat itu sudah diujung tanduk. Ironisnya, akupun sudah di vonis tiada! Menurut istilah kedokteran ibuku mengalami apa yang disebut Placenta Previa. Sudah jelas penyebab utamanya adalah depresi, kurang gizi, dan banyak sakit hati.
Ibu berjuang melawan segalanya demi aku. Ibu berdoa disetiap desah nafasnya demi aku. Ibu jadi pemberani, pembangkang suami, bahkan tak takut mati hanya karena aku. Ibu segalanya bagiku. Ibu adalah seporsi makanan yang lengkap isinya, diatas piringnya ada semua yang aku butuhkan…
Jangan lupa, aku adalah anak yang tak dikehendaki oleh ayahku sendiri! Lantaran aku terlahir sebagai anak perempuan – dia bukan cuma bodoh tapi karena memang tak pernah belajar Biologi - Lagi-lagi dia menyalahi ibu. Tapi semakin ibu disalahkan atas kelahiranku dan segala akibat yang ditanggung, semakin ibu membela, mempertahankan dan menyayangiku.
Ibu sudah tak memikirkan kepentingan dirinya lagi sejak aku lahir. Bahkan sampai suatu waktu dimana ibu dihadapkan pada sebuah pilihan dalam hidupnya, ibu sama sekali tidak ragu untuk memutuskan. Bagi ibu, “anak adalah harga mati, harga diri, dan harta yang tak ternilai. Kalau anak sudah menjadi bumerang dalam kehidupan rumah tangga, itu artinya kita harus memilih”.
Dan ibu memilihku!

******

Samar-samar masih aku ingat ketika aku diraih dan dipeluk ibu erat sekali, ibu merebut aku dari gendongannya yang tak ikhlas itu. Aku menangis keras sampai tersedak dan muntah, karena-menurutnya aku telah melakukan kesalahan sehingga harus di pukul. Bayangkan, aku yang pada saat itu masih berusia balita harus merasakan sakitnya sebuah penganiayaan yang ironisnya dilakukan oleh ayah kandungku sendiri! Hanya karena aku tak mendengar ketika dia memanggilku untuk mengambilkan sesuatu. Aku lagi asyik belajar mengeja bahasa Arab bersama boneka dan nenekku. Jadi wajar kalau sampai aku tidak begitu mendengar panggilannya…
Ibu dan kakak perempuanku sedang ke warung membeli sate dan obat nyamuk. Nenekku tak mampu melindungi aku dari amarahnya…

Terkadang aku heran pada ibuku. Beliau begitu kuat dan sabar menghadapi orang yang wataknya amat buruk seperti ayahku itu. Yang jelas, ibu selalu mengalah dan mengalah, menerima apa saja vonisnya sekalipun tak bersalah, ini dilakukannya demi supaya dia tidak marah lebih besar lagi karena ibu selalu khawatirkan anak-anaknya terkena dampak negatifnya. Sepanjang yang aku ingat, ibu memang pemain watak yang nyaris sempurna. Beliau bisa bermuka lebih dari dua. Tapi cuma dalam menghadapi suaminya saja.
“Supaya tidak ada perang dunia ketiga, keempat, kelima dan seterusnya,” kata ibu.

“ Setiap saat doa kau panjatkan agar aku bahagia siang - malam. “

Sepanjang malam itu aku berada dalam pelukan ibu. Aku masih menangis. Entah karena rasa sakit yang belum hilang atau karena ikut-ikutan ibu yang sedang tersedu-sedan memeluk aku sambil terus mengusap-ngusap kakiku yang sakit dan sesekali kudengar gumaman beliau… Oh, ibuku sedang berdoa. Ibuku tak pernah luput dari doa. Apapun masalah atau keadaannya, entahlah sepertinya ibu yakin betul akan doa-doanya…padahal ibuku bukan seorang ulama atau ahli agama… Dalam dekapan ibu aku mendengar detak jantungnya yang tak menentu iramanya, kadang degupnya begitu cepat kadang amat sangat lambat. Seringkali ibu menarik nafas dalam-dalam sambil mempererat pelukannya…

******

Tiga hari setelah peristiwa itu ibu pergi keluar rumah, kebetulan memang ayahku sedang tidak ada di rumah. Tapi aku tak tahu kemana perginya ibu. Kalau ibuku tak ada diwaktu aku tidur siang, aku pasti gelisah. Dan supaya aku bisa tidur tenang, aku selalu mengambil daster ibu yang terakhir dipakainya dan membawa foto ibu dalam bingkai kecil keatas tempat tidurku. Tak ketinggalan ‘si ichie’-boneka kelinci kesayanganku-. Nah kalau sudah begitu, biasanya aku curhat dengan kelinciku itu, sampai akhirnya aku tertidur berselimut daster sambil memeluk foto ibu. Hmmm…
Aku terbangun karena rasa hangat dibadanku. Oh, rupanya ibu sedang mendekapi aku. Aku bahagia meski tak tahu alasan apa ibu lakukan hal ini. Yang bisa kutangkap hanyalah kata-kata sederhananya, “…ini berkah bukan musibah…”
Tak perlu proses panjang dan lama, keputusan ibu menjelma menjadi keputusan Pengadilan Agama. Resmi dan sah sudah ibu menyandang status barunya. Seperti yang selalu ibu tekankan bahwa keputusannya adalah karena cinta dan kasih sayangnya pada anak-anaknya yang begitu besar. Ibu tak ingin ada trauma atau mimpi buruk lagi dalam kehidupan kami. Ibu yakin kalau keputusannya ini adalah gerbang menuju jalan hidup yang jauh lebih baik, jauh lebih tenang dan damai.

******

“Kutemukan pagi yang cerah di rona wajahmu, kutemukan malam yang damai dikelam rambutmu, kutemukan arti kehidupan sesungguhnya dalam dirimu, jika aku dapat bersamamu selalu, ibu, serasa aku memperoleh seisi dunia.”

Hari berikutnya kami lalui dengan penuh kedamaian, penuh canda dan tawa, penuh ucapan-ucapan syukur atau pujian.Tak ada lagi caci maki, kata-kata kasar atau yel-yel yang diteriakkan dengan suara bass. Ibu tak perlu lagi berbohong demi aku, ibu tak usah lagi menyembunyikan ketidak-sempurnaanku, dan ibu tak lagi harus bersusah payah mencari-cari alasan untuk membelaku yang selalu salah dimata dia.

“Ibu, kaulah mutiara hidupku, jasamu tak terhitung satu-satu, kau beri aku seribu satu ilmu “

Ya, aku sudah lancar membaca ketika usiaku tiga tahun. Tak lama kemudian akupun lancar menulis. Ibu mengajari aku membaca tanpa mengeja. Dimulai dari membacakan judul-judul koran atau majalah yang dicetak dengan huruf-huruf kapital, ibu mengenalkan aku pada kata-kata bersuku satu, dua dan tiga sampai kepada rangkaian kalimat sederhana. Cara ibu mengajarinya pun begitu santai , sambil main boneka, sambil tidur-tiduran, atau di sela-sela waktunya memasak.
Jarang terjadi jika seorang murid sekolah Taman Kanak-Kanak cuti alias libur sendiri, dan kemudian masuk lagi kapan saja maunya, tergantung keadaan hati atau mood atau tergantung situasi kondisi lainnya… Nah, aku mengalami hal itu. Aku berhenti sejenak dari sekolah pertamaku karena situasi dan kondisi yang begitu mengganggu perjalanan hidupku. Tiba-tiba saja laki-laki yang pernah menjadi suami ibu sekaligus ayahku itu muncul untuk menculik aku demi mendapatkan kembali ibu. Dia tahu persis apapun akan ibu lakukan asal anaknya selamat dan bersamanya. Bahkan (mungkin) jika harus bersujud di kakinya sekalipun. Tapi untung saja hal itu tak sampai terjadi. Ibuku selalu waspada, berdoa dan berjaga untukku dalam siang maupun malam. Akupun sudah mulai dibekali dengan pesan-pesan penting yang harus kuingat setiap saat.
Dimasa balita, aku sudah banyak mendapat pelajaran–pelajaran berharga dari ibu. Mulai dari mentaati pesan-pesan penting tadi, yang menyangkut keselamatan dan kepentingan bersama antara aku dan ibu, berikut contoh-contohnya yang berhubungan dengan kehidupan kami, sampai dengan doa-doa singkat ibu sisipkan ke salah satu sisi otakku, supaya aku senantiasa berserah diri dan minta tolong padaNya. “Karena Dialah satu-satunya yang dapat menolong kita dalam keadaan apapun, bukan ibu,“ katanya. Kemudian lanjutnya, “jadi, ibu bukan segalanya. Yang segalanya hanyalah Tuhan”.

******

Aku didaftarkan pada sebuah sanggar kecil yang melatih anak-anak berjalan, bergaya bak peragawati. Aku senang. Hanya beberapa kali pertemuan aku sudah pandai berjalan dan bergaya selayaknya peragawati yang melenggak lenggok diatas panggung berbentuk huruf “T” dengan pakaian yang bagus dan indah….
Dari panggung ke panggung di mall-mall, sport hall-sport hall perumahan elite, atau hotel-hotel aku berlomba mengadu bakat dan kemampuan sambil mengais rezeki untuk bisa membiayai hidup kami. Karena kami tidak mendapat tunjangan se-peser pun, sementara ibuku – karena patuh pada perintah suaminya dulu, ibu berhenti bekerja- dan usaha bersama temannya sudah dihentikan, karena cuma jadi sumber keributan saja pada waktu itu. Sementara berlaga, ibu berjuang dengan doanya di baris paling belakang deretan penonton. Akupun menang, menang dan selalu menang. Alhamdulillah. Kemenanganku di setiap lomba adalah karena kegigihan ibu mengajari aku, persiapan yang matang, dan doanya yang tanpa henti itu. Bagaimana tidak, setiap kali-hampir setiap minggu dan tak jarang pula aku berlomba di dua tempat sekaligus pada hari yang sama- ibuku yang mempersiapkan semua propertynya, mulai dari pakaian yang disesuaikan dengan tema lomba, kemudian dihias dengan pita atau fayet-fayet agar tampak lebih indah, membuatkan accessories yang senada, sampai memastikan kalau gerakanku nanti sudah betul-betul aman dan nyaman. Kalau sudah begini ibu pasti begadang alias tidak tidur semalaman.

******

Karena terlalu seringnya aku ikutan lomba dan menang, ketika usiaku menginjak delapan tahun aku sudah memiliki piala dan piagam penghargaan lebih dari delapan puluh buah dari beberapa jenis lomba: fashion show, baca puisi, karaoke, pidato, mendongeng,..bahkan lomba untuk menjadi seorang ‘None Cilik Jakarta’. Piala dan piagam penghargaan itu bukan cuma dari mall, sport hall atau hotel, tapi ada juga dari Walikota. Dan penghargaan itu bukan cuma atas nama pribadiku saja, tapi ada juga atas nama sekolah yang ku usung namanya dan masih terus bertambah …

Ibu selalu bisa menerima kritik asal bukan tentang anda. ” – Phyllis Hobe

Ibuku rajin mencari informasi lomba-lomba yang kemungkinan bisa kuikuti. Sepertinya panggung lomba adalah lahan mata pencaharian kami. Saat itu aku belum menyadari betapa lenggak lenggok kaki-kaki kecilku, lagu yang ku nyanyikan, puisi atau pidato yang ku perdengarkan, dan dongeng yang ku pertunjukkan adalah uang. Yang aku tahu, aku sukaaaaa sekali jika waktu-waktu seperti itu datang. Ada rasa bahagia yang luar biasa ketika berulang kali aku menerima hadiah-hadiahnya yang acapkali amat sangat menopang hidup kami. Tapi jangan salah… diluar sana banyak pasang mata memandang kami dengan sinis dan mencibir. Tapi kami tidak peduli. Ini jalan hidup yang mungkin sementara Tuhan beri atau selamanya. Yang pasti, “Terima, jalankan dan lalui saja dulu apa yang terbentang dihadapanmu”, begitu ibu selalu berpesan padaku, “Karena ini adalah pemberian Tuhan. Dan Tuhan tak akan pernah keliru…”, lanjutnya.
Aku jadi punya pengalaman lebih banyak dibanding teman-teman seumurku karena perjalanan hidupku bersama ibu. Seolah aku telah menjelajahi separuh dunia…aku bukan cuma bangga tapi betul-betul bahagia dan berterima kasih sekali pada ibuku. Karena beliau aku jadi bisa mengunjungi tempat-tempat wisata, gedung-gedung penting atau hotel-hotel mewah bahkan ke luar kota seperti Bandung atau Bali - kalau tidak karena ibu yang berusaha terus menerus seakan tanpa jeda sedikitpun - entah kapan aku bisa kesana.

“ Ibu tahu bagaimana menghadapi keterbatasan, tapi ia tidak mempedulikannya. “ – Phyllis Hobe

Awal tahun dua ribu adalah awal duniaku yang sesungguhnya dimulai, awal aku sungguh-sungguh memulai profesiku. Aku ikut grup ‘Lenong Bocah’ yang bermarkas di daerah Senayan. Tadinya aku cuma ikut cabang grup itu yang ada di daerah Cibinong. Tapi sang empunya lenong bocah meminta aku pindah ke pusat. Ga terlalu sulit untuk hadir seminggu sekali kesana karena kebetulan ada beberapa teman ibu yang anaknya juga latihan disana dan memiliki kendaraan, jadi kesimpulannya kami bisa nunut.Tapi kalau aku ada latihan intensif untuk sebuah pementasan dan temanku yang sama-sama dari Bogor tidak gabung, jadilah aku dan ibu harus naik kendaraan umum. Meski begitu ini bukan halangan untuk pemenuhan hasratku yang menggebu. Berhari-hari kami pergi naik turun bis ke bilangan Pejompongan, Jakarta. Dari Bogor kami naik bis yang ber AC jurusan Kalideres. Kami turun di Slipi dan menyebrang untuk dapat angkot ke tempat latihan. Karena perjalanan kami cukup jauh, aku yang kala itu masih TK, tak bisa menahan kantuk. Tanpa dosa akupun selalu tertidur dalam perjalanan itu bahkan sampai bis berhenti menurunkan ibu, aku masih terlelap. Ibu tak mau membangunkanku-katanya kasihan-. Ibu menggendong aku di tangan kirinya, bahu kanan ibu menyandang tas yang lumayan berat, dan tangan kanannya membawa payung. Jakarta kan panas, tengah hari pula. Ibu menyebrangi kolong fly over Slipi, lumayan lebar terdiri dari beberapa jalur…

Aku selalu menolak naik bis yang mangkal di pinggir jalan alias nge-tem. Tapi kalau sudah lewat jam sepuluh malam, ya seperti itu keadaannya. Karena penumpangnya sudah berkurang. Mau tak mau aku naik dan duduk dibangku pas dibelakang bangku supir. Lama kami menunggu. Sementara si supir dan teman-temannya sedang asyik main kartu sambil sesekali menoleh kearah kami. Seperti biasa aku merapat kedada ibuku dan ibu langsung memelukku tanpa berkata apa-apa. Tapi aku mengerti, ibu menyuruh aku tenang dan berdoa. Ah, ternyata tidak mengganggu kami. “Semua juga tergantung kitanya, terutama penampilan...” katanya kemudian. Lagi-lagi aku ketiduran. Lagi-lagi ibu harus bersusah payah menuruni tangga pintu bis karena lagi-lagi beliau harus menggendong aku. Aku yakin ibu juga pasti ngantuk tak bedanya dengan aku…

Terminal Kampung Rambutan terkenal dengan kerawanannya. Tapi tidak demikian yang aku rasakan jika ada ibu disisiku. Bahkan aku pernah tertidur di bangku kayu panjang milik seorang pedangang gorengan di pintu terminal itu di tengah malam buta. Sementara ibuku yang menopang tubuhku malah tenang-tenang saja berbicara dengan preman-preman yang sedari tadi bertanya-tanya dan menerangkan bahwa bis-bis ke luar kota, kalau sudah tengah malam begini baru akan jalan jika jumlah penumpangnya sudah mencapai paling sedikit dua belas.
Sayup-sayup aku menangkap percakapan ibu dengan orang-orang disekitar itu. Orang-orang malam yang katanya tak ramah dan tukang menjamah, tapi bagi ibu mereka baik, sopan dan pengertian.

******

" Ibu punya segala yang aku butuhkan "

Dari satu Rumah Produksi ke Rumah Produksi lain, dari satu Stasiun Televisi ke Stasiun Televisi lain, ibu membawaku untuk memenuhi panggilan hati sekaligus mencari sesuap nasi. Dari satu peran ke peran lain, dari yang harus memerankan tokoh anak panti asuhan, anak pemulung yang tinggal di bantaran kali atau kolong jembatan, sampai menjadi sesosok makhluk halus… Ada peran yang wajar, jadi ringan-ringan saja aku memainkannya, ada juga peran dimana aku seakan menjadi diriku sendiri – karena peran itu tak bedanya dengan aku dan keadaanku yang sesugguhnya – Ada kalanya aku juga harus memainkan watak yang amat bertolak belakang dengan watak dan sifat-sifat asliku. Tapi, yaitulah namanya juga dunia sandiwara. Semakin dalam kita tenggelam karena menyelami peran-peran itu, semakin orang-orang diluar sana mengenali aku sebagaimana yang mereka ‘kenal’ lewat layar kaca atau layar lebar.

Tak pernah aku ragu apalagi malu ‘tuk menjalankan ini semua, bahkan aku selalu menggebu-gebu disetiap langkah yang ku tuju, karena ibu selalu mendukungku dengan sepenuh hati dan segenap jiwa raganya.

Dihari-hari yang kulalui tak pernah sekejap pun ibu beranjak dari sisiku, tak pernah sedikitpun ibu menjauh apalagi meninggalkanku… Ibu memberikan segala sesuatunya hanya untukku – disetiap waktu- mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari bahkan hingga aku telah terbuai dalam mimpi, dari sabtu hingga minggu… Ibu senantiasa berjaga untukku, siap selalu mengadukan nasibnya demi aku. Ibu tak lelah, tak gentar, menyambut pagi, menyambut setiap kehidupan yang akan datang, walau tahu petaka ‘kan menanti.

******

Tidak ada yang bisa melakukan pekerjaan atau tugas dua-tiga macam sekaligus kecuali ibu. “

Empat tahun yang lalu, di bulan yang sama dengan bulan kelahiran pejuang wanita, Kartini, nenekku yang kebetulan bernama sama dengannya, meninggal. Ibuku yang sudah yatim sejak usia sepuluh tahun, dan tak pernah terpisah dengan ibunya sepanjang hidupnya – empat puluh tahun - jadi amat sangat kehilangan. Ibuku yang anak semata wayang, tak punya saudara kandung, tak punya suami, kini harus kehilangan ibunya…
Sepeninggal nenek, kakakku mengajak ibu tinggal sementara di tempat kostnya di bilangan Jakarta Kota. Akupun jadi banyak bolos, tak masuk-masuk sekolah.
Suatu siang kepala sekolahku menelpon ibu untuk minta tolong agar aku dapat mengikuti lomba pidato Bahasa Sunda esok hari. Hah? Bagaimana mungkin? Waktunya sempit sekali, lagipula aku sama sekali belum pernah tau bagaimana berpidato!? Apalagi dalam Bahasa Sunda… Tapi ibu, yang semula sedang larut dalam kesedihannya tiba-tiba menyemangati aku, “Bisa deh, yuk kita cari buku tentang pidato dan kamus bahasa sunda. ‘Gramedia’ kan cuma lima menit naik bajaj.” Ibu tak pernah tak punya semangat buat hal-hal- seperti ini. Entahlah, dan aku pun senang-senang saja… Satu lagi yang aku heran dari ibu adalah kemampuan ibu yang seolah tak ada batas dan keyakinan ibu kalau aku dapat melakukan apapun seperti beliau. Ckckckckck… Maaf, bukan mau sombong atau sok, tapi akhirnya memang demikian adanya. Aku selalu berhasil dengan jalan yang ditunjukkannya.
Langit diluar mulai gelap ketika ibu tiba-tiba saja menyuruhku tidur, setelah buku ‘Tehnik Pidato’ ku lahap habis, katanya supaya nanti bisa bangun subuh-subuh buat belajar pidatonya sebelum berangkat. “Teks pidatonya mana?” Tanyaku heran. “Ya belum. Baru juga ngedraft kerangkanya… sudahlah tenang saja, nanti ibu sms-an saja sama ibu Dewo buat translate ke Bahasa Sundanya.” Bikin aku tambah heran…bayangkan…waktunya tinggal barapa jam lagi?
Ibu sudah kembali berkonsentrasi dengan tugas yang jadi hobbynya itu. Ya, ibu selalu mengatakan, “Setiap pekerjaan atau tugas yang kita lakukan, jadikanlah itu sebagai hobby. Soalnya yang namanya hobby itu kan adalah sesuatu yang menyenangkan. Dengan demikian kita akan melakukannya dengan senang hati dan ikhlas. Sebab kalau sesuatu yang kita lakukan dengan ikhlas, InsyaAllah akan berhasil.”
Walaupun teks pidatoku hanya di sehelai kertas yang cuma ditulis tangan oleh ibu, sedangkan peserta lain teksnya diketik rapih, ada yang memakai alas map, malahan ada yang di laminating. Walaupun aku mempelajarinya dalam waktu yang teramat singkat, di dalam bis antar kota pula, siapa sangka akulah juaranya! Selanjutnya pidatoku dilombakan lagi sampai tingkat provinsi, dan kami pergi ke Bandung dan menang! Ini adalah prestasi bergengsi kedua untuk sekolahku, setelah sebelumnya adalah lomba baca puisi tingkat Kotamadya.
Aku telah mempersembahkan yang terbaik untuk sekolahku lewat cinta kasih ibuku.

******

“ Setiap kata adalah doa. Kata-kata ibu adalah doa bagiku yang terus membantuku mencapai dan menaklukkan hidupku.”

Sejak aku baru bisa bicara sampai detik ini cita-citaku tak pernah berubah. Mungkin istilahnya saja yang berbeda tapi artinya sama yakni ‘Pelaku Seni’ atau istilah keren dan bekennya ‘Artis’ atau istilah lainnya ‘Entertainer’. Dari mana asalnya, bagaimana mulanya itu terucap aku tak paham sampai sekarang. Padahal tak ada yang ajari aku bicara begitu. Dan nyatanya, semua itu sekarang memang jadi jalan hidupku, yang rasanya tak mungkin bisa aku merubahnya atau pindah ke lain jalan. Meski ada toll atau fly over aku tetap lebih nyaman berada di jalan konvensional ini.
Sepertinya aku sedikit idealis.
Aku merasa mulai dapat menaklukan dunia. Dunia kanak-kanakku. Seiring selesainya pendidikan Sekolah Dasarku, nama dan wajahku yang tidak cantik ini mulai banyak yang dikenal orang lewat ke-fenomenalan sebuah sinetron anak-anak pada masa itu – yang aku jadi salah satu tokoh antagonisnya - pada masa itu.
Kebutuhan hidup kami terpenuhi dengan baik bahkan aku sudah lupa rasanya berada didalam bis yang sesak atau berjalan diatas jembatan penyebrangan yang rawan pencopet dan penodong . Dulu, kalau hendak melintasinya, aku selalu berpesan pada ibu agar tak membuka tas, seraya ibu mempererat genggaman tangannya padaku –
Dengan bangga pula aku bisa menopang biaya pernikahan satu-satunya kakakku sampai biaya melahirkan anaknya dengan operasi caesar – keponakanku -
Seperti sedang menaiki bianglala di Dufan dan aku sedang duduk dikursi atas… Kata ibu saat seperti ini harus diwaspadai, karena suatu saat kita akan kembali ke bawah...

******

“ Ibuku wanita yang nomor satu, kumau selalu bersamamu sepanjang waktu. Senyummu adalah bahagiaku, tangismu adalah deritaku. “

Bait puisi diatas adalah potongan dari puisi yang kubuat untuk ibu beberapa tahun yang lalu. Tapi aku sudah mengingkarinya. Aku seringkali bersikap arogan, angkuh, sok, sombong, dan sering kali bikin hati ibuku luka karena aku telah mengabaikannya, menanggapnya tak penting, aku tak lagi menghargai sikap dan keberadaannya. Aku sering merasa urusanku di ribetin sama ibu. Aku tahu ibu sering complain atas perubahan perangaiku ini tapi tak aku pedulikan. Aku juga tahu ibu sering menangis diatas sajadahnya. Tapi rasanya aku tak perlu bertanya kenapa. Aku jadi lebih suka diantar supir saja tanpa ibu, bahkan pernah suatu kali aku berandai-andai punya seorang asisten yang mendampingiku. Betapa sombongnya aku! Ibuku yang dasar hatinya lemah, dasar sifatnya penurut, nyaris mengabulkan semua khayalanku itu…

******

“ Ibu tahu suatu hari ia harus melepaskan anda, yaitu pada saat anda lebih dekat dengannya - pada saat itulah ibu menjadi sahabat. “ Phyllis Hobe

Di fase ini aku mulai mengenal dan perduli pada teman lawan jenis. Seperti biasa, tak ada rahasia antara aku dan ibu dan sebaliknya. Apapun itu. Ibu menerima saja perubahan sifat dan sikapku, termasuk ketika aku mulai membagi hatiku pada teman laki-lakiku. Entah mengapa, aku jadi menelantarkan banyak hal yang selama ini rutin aku jalani, misalnya menulis tentang apa saja di blogku. Ibadahku jadi turun drastis lantaran sisa waktuku kuhabiskan dengan mengenggam handphone dan menekan huruf-hurufnya.

******

“ Ibu tidak langsung mengatakan anda berbuat kesalahan…ibu menunggu sampai anda mengetahuinya sendiri - kecuali kalau itu terlalu lama. “ – Phyllis Hobe

Ibu benar, roda yang berputar akan membawa kita yang diatas kembali turun kebawah. Aku menangis menyesali semua ulahku belakangan ini aku minta maaf pada ibu setelah panjang lebar ibu menerangkan padaku kalau aku salah telah meninggalkan begitu banyak kesempatan selama ini. Padahal kan kesempatan yang sama tidak akan datang dua kali. Aku menyadari, banyak kerugian yang kualami terutama waktu. Tapi ibu tak pernah berubah sikapnya padaku, walau aku sering mencabik-cabik hatinya, kadar cinta dan kasih sayang ibu tak berkurang sedikitpun.

******

“ Ibu seperti jala pengaman ketika anda mencoba terbang terlalu tinggi-ia tidak akan membiarkan anda terluka, tidak perduli setinggi apa anda terjatuh. “ – Phyllis Hobe

Setengah tahun sudah aku tak lagi berkutat diantara lampu-lampu ribuan kilowatt dan camera, atau keluar masuk studio dubbing suara. Acara-acara off air seperti
-MC pun jarang kulakukan. Dengan bijak ibu bilang, ini karena transisi usia. Mungkin. Atau karena dosaku padanya? Jadi Tuhan marah dan menghukum aku mencabut semua kesenangan dan rezekiku…
Aku dirundung rasa frustasi yang begitu hebat bahkan nyaris jadi apatis. Tak mustahil rasanya jika aku mati saja, jika aku bunuh diri. Na`uzubilaah… Tanpa semangat dan airmata, tanpa tahu apa yang harus kulakukan lagi… aku lelah! Lelah berpikir, lelah mencari, lelah sekali, aku menyerah… Tapi ibuku tidak!
Dengan cintanya – yang sepertinya tak pernah habis itu – Dengan semangat yang tak pernah kendur, ibu bantu aku bangkit. Aku dituntunnya ‘tuk kembali menyambangi laptopku. Mulanya ibu yang membukakan laptopnya, ibu yang browsing mencari-cari sesuatu yang dapat berguna, sampai akhirnya aku mau menulis lagi, menulis apa saja.
Sampai akhirnya aku menuliskan ‘Kisah Kasih Ibu’ ini. Aku ingin ibu tahu bahwa aku – tanpa cinta dan kasihnya – apalah arti hadirku di dunia ini.

******



“Ibu,

Tahukah kau…

bahwa

hal yang paling membuatku bahagia adalah
ketika aku menulis apa saja tentang Cinta dan Kasih sayangmu.

Cerita-cerita terbaik darimu menuturkan hal-hal kecil tentang kebenaran.
Ibu tak perlu kata-kata canggih untuk memaparkannya.

Ibu…

Kau seperti jala pengaman ;

ketika aku mencoba terbang terlalu tinggi
– Kau tak kan membiarkanku terluka –
Tanpa peduli setinggi apa aku terjatuh...

Aku tahu,

kau akan membantu menyembuhkan lukaku,
sebelum kau sadari dirimu pun terluka.

Tak pernah bisa kulupakan…

Ibu selalu menghapuskan airmataku ketika aku menangis,
Ibu berusaha menggenggam tanganku disaat aku ragu,
Ibu pun 'kan mendekapku disaat aku takut,
dan
Ibu selalu menyuruhku ‘tuk bertahan ketika aku merasa lelah
- ingin menyerah -

Dan aku…

Aku ingin sekali

bisa membaca hatimu disela desah nafasmu,

Aku ingin

menemukan jawaban tanpa harus bertanya ;

Aku menemukan penderitaan yang lebih besar disana…

Tapi

Ibu bisa menyembunyikannya dibalik senyuman.

Masih kuingat…

Setiap malam sebelum tidur Ibu selalu berdoa ;

supaya Tuhan
sekali lagi saja mengijinkanmu melihat matahari,

karena
engkau selalu berharap ‘tuk bisa memenuhi satu saja impian lagi.

Karena bagimu,
setiap pagi adalah janji,

maka
setiap matahari terbit tak boleh dilewatkan,

katamu,
“Kita akan berlomba dengan surya berebut kehidupan.”

Ibu ,

bagiku

kasih sayang sayangmu sebagaimana rumput mengasihi musim semi.

Jika kau menyeru namaku dan mendengar jiwaku,
seperti pantai menyeru dan mendengar kisah-kisah gelombang.

Suatu hari

pernah kuminta setangkai bunga padamu,
kau memberiku setangkai mawar merah yang menawan.

Dan

ketika kuminta satu menit waktumu,
kau malah memberiku seluruh hari yang indah.

Kupikir bahagiaku belum cukup,

lalu kujatuhkan saja diriku disini,

karena kuyakin,
Ibu selalu ada untuk semua alasanku…

Ibu,

Cintamu mengelilingi setiap sel tubuhku,
berkelana dan berpendar dalam darahku,
memeluk dan merengkuh hatiku.

Cintamu senantiasa bergerak melihat segala sesuatunya dari mata jiwamu…

Setetes demi setetes seperti gerimis yang membasahi tanah sekarat,
seperti embun yang membebaskan rumput dahaga.

Ibu…

Kau selalu siap jadi tumpuan gelisah dan sedihku,

meski raga tak lagi menyatu,
tapi hatimu bicara dari kedalamannya.“




Bogor, 12 Desember 2009.